Senin, 16 Juni 2008

Teknologi Rumah Sederhana Tahan Gempa

oleh (C Wahyu Haryo Priyo Sasongko)

GEMPA dan tsunami yang melanda sebagian belahan Afrika dan Asia pada 26 Desember 2004 disusul gempa yang merusak Pulau Nias dan Simeulue awal pekan ini, menggelitik sejumlah ahli teknik konstruksi untuk mengembangkan desain rumah tahan gempa.

SALAH satu lembaga pendidikan yang memiliki sejumlah tenaga ahli teknik, Akademi Teknik Mesin Indonesia Solo, merancang rumah sederhana tahan gempa yang tergolong murah, dengan teknologi yang cukup mudah diaplikasi oleh penduduk di daerah rawan gempa.

Rumah tahan gempa yang diberi nama Smart Modula ini tergolong konsep revolusioner untuk konstruksi bangunan serba guna. Desain rumah ini memiliki fleksibilitas tinggi, mudah dalam membangunnya, dan cukup kokoh. Konsep knock down atau bongkar pasang yang cukup sederhana ini juga praktis.

"Ide pembuatan rumah sederhana ini sebenarnya bukan sebagai rumah tahan gempa, tetapi awalnya pesanan untuk mengganti tenda-tenda darurat saat terjadi bencana. Konsep awal yang lebih mirip kontainer tergolong gagal karena hasilnya terlalu berat. Rintisan rumah ini sudah berlangsung sejak lima tahun lalu," tutur Direktur Akademi Teknik Mesin Indonesia Solo (ATMI) BB Triatmoko SJ.

Konsep ini mengalami stagnasi proses kreatif karena masih saja terpaku pada konsep pengembangan bentuk kontainer yang baku seperti kubus. Padahal, kebutuhan saat itu lebih pada bentuk-bentuk yang lebih fleksibel dan tidak kaku, selain adanya persoalan bobot yang terlalu berat tadi.

Lebih kurang tiga bulan sebelum terjadi gempa, ide mengembangkan rumah sederhana tersebut kembali tebersit. Saat itu Triatmoko melihat deretan permukiman kumuh di Jakarta, dari atas pesawat yang ditumpanginya. Pemikirannya tertumpu pada keinginan untuk menata permukiman kumuh tersebut tampak lebih rapi, namun tetap murah.

"Rumah tidak hanya sekadar tempat berlindung, tetapi juga cerminan self identity dari pemiliknya. Rumah juga bisa menumbuhkan self confidence dan mengangkat harga diri penghuninya. Meski rumah sederhana dikembangkan untuk segmen rakyat kecil secara massal, tetap saja harus ada standar kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak dibuat secara asal- asalan," kata Triatmoko.

Persoalan rapi dalam koridor ukuran ini identik dengan presisi dan siku-siku yang bisa juga memunculkan keindahan estetis, yang memang sudah menjadi tradisi ATMI. Konsep rumah pengganti tenda itu pun mulai beralih ke rumah murah dan mulai meninggalkan konsep bentuk kontainer. Saat tragedi tsunami terjadi, Triatmoko memikirkan inovasi rumah murah yang sederhana ini beralih ke konsep rumah tahan gempa.

Struktur metal

Struktur kerangka utama rumah tahan gempa ini menggunakan bahan metal utuh, tepatnya besi kanal C yang relatif ringan. Menurut Triatmoko, awalnya memang menggunakan besi pipa yang dinilai kuat dan kokoh. Pertimbangan beralih ke besi kanal C lebih karena besi pipa terlampau berat.

Saat menggunakan besi pipa, proses pembangunan rumah memerlukan orang yang cukup banyak. Bahkan, untuk mengangkat struktur yang membentang di bagian atas, harus terpaksa menggunakan derek. Setelah melalui uji coba pembuatan prototipe sebanyak 4-5 kali, dipilih besi kanal C. Dengan struktur dari besi kanal C ini, untuk merakit struktur kerangka rumah hanya membutuhkan tiga orang.

Alternatif bahan metal dari besi kanal C yang digunakan ada dua jenis, yakni hot deep galvanis dan zing alumunium (54 persen seng, 46 persen aluminium). Untuk hot deep galvanis, jika dibiarkan tanpa dilapisi pelindung atau cat, mampu bertahan sekitar 10-15 tahun. Sementara pada kondisi yang sama, bahan zing alumunium mampu bertahan hingga 20 tahun.

Daya tahan terhadap korosi akan bertambah lama jika kedua bahan tersebut dilapisi pelindung. Struktur utama rumah ini mampu menahan gempa karena dihubungkan dengan baut. Lubang baut sengaja dibuat oval sehingga meski baut dikencangkan, saat ada goncangan yang hebat, masih memungkinkan struktur ini bergerak fleksibel. Ada semacam ruang yang memungkinkan adanya pergerakan ke kiri-kanan maupun pergerakan ke atas-bawah.

Struktur utama rumah tahan gempa ini tidak ditanam atau ditopang dengan fondasi yang memanjang di bawah dinding rumah, tetapi hanya menggunakan umpak di setiap sudut rumah. Konsepnya mengadopsi model rumah tradisional adat Jawa yang dibuat dari kayu. Dengan penopang semacam ini, saat terjadi gempa, relatif bisa fleksibel. Jika menggunakan model fondasi seperti rumah-rumah konvensional, hampir dipastikan akan mengalami keretakan atau patah saat dilanda gempa hebat.

Struktur ini jauh lebih ringan jika bahan besi kanal C diganti dengan bahan composite fiber. Untuk mengangkat besi kanal C sepanjang ruas utama kerangka rumah diperlukan dua orang, sedangkan untuk mengangkat komponen yang sama dari bahan composite fiber hanya membutuhkan satu orang.

Composite fiber yang lebih banyak dikembangkan di China ini teknologinya sudah dikuasai ATMI. Pengembangan yang dilakukan ATMI tergolong berhasil. Keunggulannya, selain tahan korosi dan api serta kekuatannya relatif sebanding dengan besi kanal C, bahan composite fiber ini juga lentur. Hanya saja penggunaan composite fiber untuk rumah sederhana tahan gempa ini membutuhkan biaya yang lebih banyak karena harganya jauh lebih mahal.

Sterofoam

Salah satu keunggulan dari rumah tahan gempa ini adalah material dinding yang juga knock down. Beberapa alternatif yang ditawarkan antara lain dinding dari bahan panel sheet metal dengan pelapis akhir powder coating (semacam pelat besi yang dilapisi pelindung karat), flexon atau beton ringan, dan yumen (serat kayu yang dipres).

Inovasi Atmi terletak pada penggunaan teknologi flexon untuk dinding. Teknologi ini cukup familiar di kalangan industri perminyakan karena sering digunakan untuk menambal sumur-sumur bor. Meski demikian, penggunaan teknologi flexon pada konstruksi rumah memang baru diterapkan oleh ATMI.

Flexon yang digunakan untuk dinding rumah ini terbuat dari campuran semen dan sterofoam. Ide dasarnya, semen merupakan material yang kuat dan mempunyai nilai ekonomis yang memadai. Untuk menjawab persoalan mengurangi beban yang harus ditopang struktur kerangka utama, diperoleh jawaban dengan menggunakan sterofoam untuk campuran dinding beton.

Ketebalan dinding dari flexon ini hanya 4-5 cm sehingga jauh lebih ringan dari dinding tembok atau batako yang jauh lebih tebal. Meski tergolong tidak tebal, kekuatan flexon ini bisa diandalkan, dalam bahasa Triatmoko bisa dipertanggungjawabkan. Uji tekan yang dilakukan pada flexon ternyata mampu bertahan dalam tekanan 230 kg per cm².

Bahkan dinding flexon ini juga tahan api dan sudah terbukti mampu bertahan saat diuji dengan oven pada suhu 200 derajat Celsius selama 12 jam. Mencetak flexon memang bisa dilakukan oleh orang kebanyakan, asalkan mengikuti komposisi yang dianjurkan ATMI. Persoalannya, untuk mencampur semen dan sterofoam dibutuhkan cairan kimia atau chemical untuk mengikat polisteris dari sterofoam dengan semen. Justru chemical inilah kunci dari teknologi flexon, dan cairan ini murni temuan ATMI. Triatmoko mengaku, penemuan ini ke depan akan dipatenkan.

Penggunaan sterofoam untuk memperingan persoalan beban ternyata tidak tercetus begitu saja. Alternatif bahan lain sempat diuji coba oleh ATMI, antara lain kulit gabah, merang, dan serat kayu. Pilihan jatuh pada sterofoam karena ATMI juga ingin menjawab persoalan sampah sterofoam yang selama ini tidak bisa dimusnahkan ataupun di daur ulang.

Uniknya, pengadaan streofoam parut yang digunakan untuk campuran flexon ini melibatkan pemulung. Triatmoko memiliki pemikiran, penggunaan bahan ini bisa meningkatkan pendapatan pemulung sekaligus mengurangi sampah sterofoam yang tidak bisa dimusnahkan atau di daur ulang. Teknologi ini juga bisa dikembangkan untuk atap rumah.

Flexon juga memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sekadar perbandingan, untuk tiap meter persegi tembok bata membutuhkan biaya Rp 90.000-Rp 100.000. Sementara untuk bahan yumen, pada luasan yang sama membutuhkan biaya Rp 70.000-Rp 80.000. Dengan menggunakan bahan flexon, tiap meter perseginya hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 35.000.

Sayangnya, teknologi ini tidak bisa diterapkan untuk lantai karena kurang memiliki fleksibilitas. Meski demikian, ATMI menawarkan beberapa alternatif bahan untuk menjawab persoalan tersebut, antara lain dengan kayu, multipleks, dan beton cor.

Megaproyek

Jika sejak awal selalu disampaikan mengenai konsep rumah murah, maka orang akan bertanya-tanya seberapa ekonomiskah rumah rancangan ATMI ini. Sekadar pembanding, Triatmoko menyampaikan, untuk membangun rumah konvensional dengan tembok, tiap meter perseginya membutuhkan biaya Rp 1-1,5 juta. Sedangkan rumah tahan gempa produksi ATMI ini untuk luasan yang sama hanya membutuhkan Rp 500.000. Untuk membuat rumah tipe 36, ia memperkirakan, hanya membutuhkan biaya Rp 20-25 juta.

"Keunggulan lainnya, konstruksi knock down memungkinkan adanya perluasan bangunan, baik melebar ke samping maupun ke atas (tingkat). Jadi, penambahan ruang bisa dilakukan seiring dengan meningkatnya penghasilan si empunya rumah atau kebutuhan karena bertambahnya jumlah anggota keluarga," tutur Triatmoko.

Rumah tahan gempa ini bahkan sudah teruji. Tiga prototipe yang dibuat di Pulau Breh, Kepulauan Aceh, pada Februari lalu dan sempat diresmikan sejumlah tokoh agama nasional ternyata mampu bertahan saat menghadapi gempa susulan. Menurut Triatmoko, dengan kekuatan gempa sebesar 6,1 skala Richter dan 8,3 skala Richter beberapa waktu yang lalu, ketiga rumah tersebut ternyata masih utuh.

Pada bulan April-Juni mendatang akan dibangun sekitar 300 rumah sederhana tahan gempa di pulau tersebut. Tak hanya itu, sejumlah negara dari Afrika, yakni Mali dan Ghana, sudah mempertanyakan kemungkinan digunakannya teknologi tersebut di negara mereka. Bahkan, lembaga Selavipe dari Chili, yang hingga kini telah membangun sejumlah 350.000 rumah sederhana untuk rakyat miskin, juga tertarik untuk mengembangkan rumah buatan ATMI ini. (C Wahyu Haryo Priyo Sasongko)